Thursday, July 26, 2007

Perlukah Mempertahankan IPDN?

Saya ingat ketika itu tahun 2003, saya dan beberapa teman di HME (Himpunan Mahasiswa Elektroteknik) ITB bersama-sama menonton rekaman acara pelantikan anggota klub Drum Band di IPDN. Acara tersebut diwarnai dengan tendangan tanpa bayangan, pukulan tanpa hati nurani, dan hal-hal lain.

Acara tersebut ditayangkan oleh SCTV, dalam rangkaian protes terhadap kematian Wahyu Hidayat yang tidak wajar.

Beberapa tahun berlalu.

Tahun 2007, IPDN (yang dulu bernama STPDN) kembali membuat berita. Berita pertama adalah berita tentang kematian salah satu praja-nya, Cliff Muntu, dikarenakan peristiwa yang hamper sama dengan peristiwa yang menyebabkan kematian Wahyu Hidayat. Berita lainnya adalah berita tentang “bebas”-nya beberapa pembunuh Wahyu Hidayat yang sekarang sedang menikmati karir mereka sebagai penjilat bupati, camat, dan lain-lain.

Menyambung pemberitaan yang tidak baik tentang IPDN, warga IPDN berontak lagi. Mereka menggandeng MURI (saya sendiri tidak tahu lembaga apakah MURI itu) untuk memecahkan rekor menuliskan sesuatu di kain sepanjang sekian kilometer yang berisi perasaan para praja IPDN.

Namun rekor MURI tersebut dipecahkan oleh IPDN sendiri. Tidak berselang lama, seorang pengasuh nyaris membuat praja-nya kehilangan pendengarannya, karena pemukulan di daerah telinga.

Dan lagi-lagi, pemecahan terhadap rekor MURI tersebut dipecahkan lagi oleh IPDN. Segerombolan praja IPDN ramai-ramai mengeroyok tukang ojek setempat yang mengakibatkan meninggalnya tukang ojek tersebut.

Menanggapi kasus pengeroyokan tersebut, kepala sekolah IPDN membela diri. Dengan mengatakan bahwa tukang ojek tersebut yang mulai duluan, kepala sekolah itu membenarkan tindakan para praja atas pengeroyokan tersebut (yang artinya kepala sekolah tersebut membenarkan tindakan Praja untuk membunuh tukang ojek).

Sekolah adalah sebuah blok besar, yang apabila digambarkan, ada 3 komponen utama: input, proses, output. Di Indonesia, sekolah yang baik biasanya adalah sekolah dengan input baik, proses baik, outputnya baik. Walaupun sekolah yang ideal itu adalah apapun input-nya, proses yang terjadi mampu membuat output-nya menjadi baik. Tapi ideal itu susah dicapai.

IPDN adalah sekolah yang kita tidak tahu input dan output-nya, tapi tahu prosesnya. Proses yang terjadi di IPDN di samping peristiwa belajar mengajar juga pembiasaan terhadap pemukulan, main otot dan tidak main otak, korupsi, dll. Dari proses yang terjadi inilah outputnya dikhawatirkan akan mengalami pembrobokan moral.

Sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalah IPDN. Masih banyak yang harus dipikirkan daripada memikirkan mereka.

Tetapi menjadi pikiran saya, karena lulusan mereka adalah pelayan masyarakat, yang harus melayani masyarakat untuk layanan public. Apabila sejak kuliah saja mereka sudah terbiasa melayani masyarakat dengan pukulan, korupsi, dan hal-hal lain, bagaimana nanti kalo udah jadi pengayom masyarakat?

Jadi balik ke pertanyaan awal: perlukah mempertahankan IPDN?

No comments: