Thursday, January 25, 2007

Ketika Lembaga Kemanusiaan Berubah Menjadi Lembaga Komersiil

Jujur saja, saya sedih ketika membaca berita tentang tidak boleh-nya sepasang orang tua membawa bayi yang baru saja dilahirkan sang istri karena mereka tidak mampu melunasi biaya rumah sakit. Link berita ada di sini.

Rumah sakit merupakan tempat di mana orang-orang yang sakit dirawat. Sakit (sebagaimana sehat, kaya-miskin, jodoh, kematian) merupakan anugrah yang Maha Esa. Artinya, kita tidak tahu kapan kita akan sehat, atau kapan kita akan sakit. Kita hanya bisa menjaga kesehatan agar terhindar dari sakit.

Dikarenakan kedatangannya yang tidak bisa kita prediksi, kita mesti mempersiapkan diri untuk sakit, apalagi dari segi finansial. Asuransi menjadi salah satu pilihan persiapan finansial menghadapi hal yang tak terduga tersebut.

Namun, untuk kelompok menengah ke bawah, asuransi terasa mahal. Akibatnya, ketika sakit, mereka lebih suka tidak ke rumah sakit. Pilihannya adalah dokter atau mantri (atau terkadang dukun). Lagi-lagi karena alasan biaya.

Menyadari hal tersebut, seharusnya untuk beberapa kalangan (pasien), Rumah Sakit memposisikan diri sebagai lembaga kemanusiaan, yang mencoba membantu sesama tanpa memikirkan pembiayaan yang harus dibebankan kepada pasien tersebut. Namun apa daya, deretan angka2 yang di depannya ada huruf R dan P masih berputar2 di otak para dokter2 dan pengelola rumah sakit. Semakin sedikit jumlah angka setelah huruf R dan P, semakin sedikit upaya mereka untuk membantu kesembuhan orang lain. Demikian juga sebaliknya.

Melahirkan adalah sesuatu yang antara pasti dan tidak pasti. Pasti karena kemungkinan besar umur bayi dalam kandungan adalah 40 minggu, dan tidak pasti karena banyak ketidakpastian yang bisa terjadi pada sang Ibu dan Sang Bayi (Untuk itulah kita harus banyak berterima kasih kepada Ibu).

Di jakarta, biaya melahirkan (kelas 3) untuk proses kelahiran normal berkisar antara Rp 3jt - Rp 5jt, sementara untuk kelahiran dengan operasi sesar berkisar Rp 6-9jt. Namun hal tersebut tergantung rumah sakit dan jumlah bayi yang dilahirkan (kembar atau tidak).

Untuk mendapatkan dana (minimal) Rp 3jt tersebut, sang suami harus menabung Rp 75rb,- tiap minggu selama 40 minggu. Ditambah pengeluaran lain2 (Susu Ibu Hamil, periksa kandungan ke dokter, dll) bisa menjadi Rp 90rb,- per minggu. Barangkali buat sebagian orang, angka tersebut adalah angka yang kecil. Namun, buat sebagian yang lain, angka tersebut adalah angka yang besar. Dalam satu bulan Sang Suami harus mempersiapkan (dan membelanjakan untuk kepentingan kesehatan sang Istri) sebesar Rp 90rb x 4 = Rp 360rb. Sementara dalam 1 bulan mereka harus makan (katakan sekali makan Rp 2rb dan 2 kali makan 1 hari untuk 2 orang) sebesar 2 * Rp 2rb * 2 * 30 = Rp 240rb. Sementara katakan dalam 1 bulan ada biaya lain-lain sebesar Rp 200rb.
Jadi total pengeluaran mereka dalam 1 bulan adalah Rp 360rb + Rp 250rb + Rp 200rb = Rp 800rb. Masih di bawah UMR Jakarta, sebesar Rp 819rb,-

Benarkah kenyataannya mereka bisa melaksanakan formula tersebut? Ternyata (menurut saya) tidak. Ada beberapa hal:
- Sektor informal (buruh bangunan, pedagang asongan, dll) tidak terikat dengan ketentuan pemerintah tentang UMR
- Apakah biaya sekali makan di Jakarta bisa dibulatkan menjadi Rp 2rb? (masak sendiri, dll)
- Apakah mereka hanya berdua?
- Apakah mereka cukup "berpendidikan" untuk mengatur pengeluaran seperti itu?
- Apakah upah mereka harian atau bulanan (kalo harian, gak kerja = gak ada pemasukan)
- Apakah mereka memikirkan masalah asuransi? Kalo iya, apa mereka berani mendaftarkan ke asuransi? Kalo berani, apakah pihak asuransi berani menerima mereka sebagai nasabahnya?
- dan masih banyak hal2 yang lainnya

Bagaimana pihak rumah sakit menyikapi kelompok masyarakat yang ini? Ironis-nya, pihak rumah sakit seolah2 tidak melihat adanya kelompok masyarakat ini. Pihak rumah sakit menganggap kelompok masyarakat ini tidak akan berani berobat ke rumah sakit-nya karena masalah biaya. Apabila ada kelompok masyarakat ini yang berobat ke rumah sakit, pihak rumah sakit akan menganggap mereka mampu, sehingga apabila mereka mengaku tidak mampu, pihak rumah sakit akan membebani mereka dengan syarat2 yang harus mereka penuhi.

Rasanya saya masih memiliki banyak teman yang baru lulus dokter (dr ipeh, dr dina, dr tia, dr rida, dr silvi, dll). Semoga mereka mampu memposisikan diri sebagai manusia sebagai makhluk sosial dan manusia sebagai makhluk material. Ada saatnya mencari uang, tetapi ada saatnya menolong sesama.

Dan semoga pemerintah dan pihak rumah sakit sadar, masih banyak sumarni-sumarni di luar sana.

1 comment:

Anonymous said...

saya juga sebal mas baca di kompas ttg hal ini